Rabu, 30 Maret 2011


SEKILAS TENTANG

THORIQOH QODIRIYAH NAQSYABANDIYAH

Maulana Syekh Muhammad Nazim Adil telah menjelaskan bahwa setelah terorisme, permasalahan terbesar umat manusia kedua adalah penyalahgunaan narkotika oleh generasi muda (The Muslim Magezine, Spring 1999). Permasalahan sosial ini bukan hanya dialami oleh bangsa Barat, tetapi juga menimpa kalangan generasi muda seluruh dunia. Walaupun jumlah korban narkoba di negara-negara Asia tidak sebesar di Barat, tetapi permasalahan ini menarik perhatian yang sangat serius bagi Mbah Anom untuk mendirikan Pondok Inabah, pusat rehabilitasi korban narkoba dengan dzikir sebagai obatnya.

Metodologi Mbah Anom didasarkan pada hasil pengalaman spiritual beliau sebagai seorang sufi dan kepercayaannya bahwa dzikrullah mengandung pencahayaan/penerangan, karakter khusus dan rahasia yang dapat mengobati muslim yang mempercayainya. Hal ini didasarkan pada firman Allah: "Ingatlah pada-Ku, maka Aku akan mengingatmu". Jasa dan keuntungan dari dzikir di Pondok Pesantren Suryalaya dapat dirasakan sebagian masyarakat yang telah pergi berobat ke sana.

Penelitian terhadap metodologi Mbah Anom pernah dilakukan Dr. Emo Kastomo pada tahun 1989. Dia melakukan evaluasi secara random terhadap 5.929 orang pasien di 10 Pondok Inabah. Dan hasilnya, 5.426 orang sembuh, 212 orang dalam proses menuju sembuh, dan 7 orang pasien meninggal dunia.

Ada tiga keikutsertaan pengikut Thoriqah Qadiriyah Naqshabandiyah dalam usaha mancapai Indonesia merdeka, yaitu: Pertama, keikutsertaan para Syekh dan haji di Banten pada revolusi Juli 1888. Dilaporkan, Syekh Abd al-Karim Banten tidak tertarik dengan akivitas politik, namun penggantinya Haji Marzuki lebih berpikiran reformis dan sangat antiBelanda. Walaupun Thoriqah tidak memimpin dalam revolusi, tetapi Belanda khawatir dengan pengaruhnya, dan sebagian besar diantara mereka meyakini, secara umum pengikut sufi khususnya Thoriqah Qadiriyah Naqshabandiyah merupakan organisasi yang mempunyai tujuan untuk mengalahkan kekuatan kolonial.

Kedua, perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut Thoriqah Qadiriyah Naqshabandiyah Syekh Guru Bangkol. Belanda mempertimbangkan, Thoriqah merupakan faktor terpenting timbulnya pemberontakan-pemberontakan. Walaupun penasehat Pemerintah Belanda Snouck Hurgrounje memberikan masukan bahwa terlalu berlebihan untuk menilai Thariqat sebagai usaha politik untuk melawan Belanda, pendapatnya tersebut tidak dindahkan sampai muncul Syarikat Islam, sebuah organisasi politik yang berdiri pada tahun 1911.

Ketiga, sekarang di Jawa ada tiga cabang terbesar Thoriqah Qadiriyah Naqshabandiyah, yaitu Rejoso, Mranggen, dan Suryalaya, masing-masing memberikan dukungan terhadap partai-partai politik, di mana beberapa di antara mereka terlibat aktif dalam partai politik.

Pada tahun 1957, Jam'iyyah Ahl Thariqah Mu'tabarah didirikan Nahdlatul Ulama, yang pada saat itu juga berbentuk partai. Tujuannya adalah untuk menyatukan semua kekuatan Thariqat dan memelihara silsilah yang dimulai dari Nabi Muhammad Saw. Jam'iyyah ini memelihara dan mengajarkan ajaran tasawuf dari 45 kekuatan Thoriqah yang pernah ada pada tahun 1975. Syekh Mustain Romly dari Rejoso diangkat sebagai pimpinan Jam'iyyah ini. Pada tahun 1979, ketika Syekh Mustain Romli merubah afiliasi politiknya dari Partai Persatuan Pembangunan ke Golkar, para Ulama mendirikan Jam'iyyah Ahl al-Thariqah al-Nahdliyyah.

Pimpinan Jam'iyyah ini adalah Syekh Haji DR. Idham Kholid, dimana pada saat itu pernah menyambut kedatangan Syekh Muhammad Hisham Kabbani dari Naqsabandi Amerika Serikat pada bulan Desember 1977. Syekh Hisham Kabbani juga datang kemabali ke Indonesia ke acara the International Conference of Islamic Scholars (ICIS) yang diselenggarkan Nahdlatul Ulama Februari 2004.[]

KHAUL SYEKH ABDUL QODIR AL-DJAELAN DI SAWANGAN - PEKALONGAN JAWA TENGAH








MURSYID THORIQOH PEKALONGAN

 

 


 ALMARHUM.CHODROTU SYEKH ROMO.K.H. ABDULLAH SAWANGAN SALAH SATU PENDIRI THORIQOH QODIRIYAH NAQSYABANDIYAH

LATAR BELAKANG

Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah adalah perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah. Pendiri tarekat baru ini adalah seorang Sufi Syekh besar Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syekh Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi (w.1878 M). Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah.


Almarhumah Chodrotu Syekh Abdullah Sawangan belaiu salah satu pendiri mursyid Thariqah Qadiriyah Wanaqsabandiyah SawanganKab. Pekalongan Jawa Tengah


Sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil
Almarhumah Chodrotu Syekh Abdullah Sawangan
sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Thariqah Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Thariqah Naqsabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah, maka sangat dimungkinkan beliau mendapat bai'at dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Indonesia.

Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut karena pertimbangan logis dan strategis, bahwa kedua tarekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengakapi, terutama jenis dzikir dan metodenya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud. Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahr Nafi Itsbat, sedangkan Thariqah Naqsabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat.

Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efisien. Dalam kitab Fath al-'Arifin, dinyatakan tarekat ini tidak hanya merupakan penggabungan dari dua tarekat tersebut. Tetapi merupakan penggabungan dan modifikasi berdasarkan ajaran lima tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Tarekat Anfasiyah, Junaidiyah, dan Tarekat Muwafaqah (Samaniyah). Karena yang diutamakan adalah ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, maka tarekat tersebut diberi nama Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Disinyalir tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara).


Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadlu' dan ta'dhim Syekh Ahmad Khathib al-Sambasi terhadap pendiri kedua tarekat tersebut. Beliau tidak menisbatkan nama tarekat itu kepada namanya. Padahal kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan tatacara ritual tarekat itu, sebenarnya layak kalau ia disebut dengan nama Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah, karena memang tarekat ini adalah hasil ijtihadnya.


Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.

Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu : tentang kesempurnaan suluk, adab (etika), dzikir, dan murakabah.
:
CHODROTU SYEKH. ROMO K.H. NURUDIN HASAN
Selaku PENERUS DARI ALM.CHODROTU SYEKH. ROMO K.H. ABDULLAH

Sekilas Tentang Thariqat Qadiriyah Naqsabandiyah
Dua pengikut aliran sufi terbesar di dunia, yaitu Thariqat Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah, kedua-duanya terdapat di Indonesia. Tidak diketahui secara pasti bagaimana paham Qadiriyyah datang ke Indonesia. Tetapi Naguib al-Attas memberitahukan bahwa penyair Hamzah Fansuri (Sumatera Utara) adalah pengikut Thariqat Qadiriyyah.

Telah diketahui, bahwa rujukan pengikut Qadiriyyah adalah Syekh Abd al-Qâdir al-Jaylânî, sebagaimana ditemukan dalam puisi Fansuri, yang berdomisili di Aceh pada pertengahan abad 16. Sebagai tambahan, dalam prosa Fansuri tertulis Syekh Sufi terkenal seperti Abû Yazid al-Bustamî, Junayd al-Baghdâdi, Manshûr al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Ibn Arabi, Jami Attar, dan beberapa Syekh lainnya.

Diungkapkan bahwa orang pertama yang memperkenalkan Qadiriyyah adalah Syekh Yusuf Makassar (1626-1699). Guru Qadiriyyahnya, Muhammad Jailani ibn Hasan ibn Muhammad al-Hamid, seorang imigran dari Gujarat bersama pamannya Nur al-Dîn al-Raniri. Di Yaman, Syekh Yusuf belajar ajaran Naqshabandiyyah dari Syekh terkenal dari Arab, Muhammad Abd al-Baqi. Sufi lainnya dari Aceh, Abd al-Rauf al-Sinkili, yang belajar di Madinah pada pertengahan abad 17 di bawah bimbingan Syekh Ahmad al-Qushashi dan Ibrahim al-Qurani, dimana mereka merupakan Guru Paham Qadariyyah.

Lombard menginformasikan kepada kita, asal muasal Thariqat Naqsabandiyyah di Indonesia, ditunjukkan dengan pernyataan L.W.C van den Berg; ketika dia datang aktivitas Thariqat Naqsabandiyyah telah ada di Aceh dan Bogor, di mana dia menyaksikan dzikir Naqsabandiyyah sebagai aktivitas utama. Kemudian dia menggambarkan kedatangan Thariqat Naqsabandiyyah di wilayah Medan, tepatnya di Langkat.

Penulis berikutnya menggambarkan bahwa Syekh Abd al-Wahhab Rokan al-Khalidi al-Naqshabandi memperkenalkan Naqsabandiyyah ke Riau. Setelah menghabiskan waktu selama 2 tahun di Malaysia dalam rangka berdagang, beliau pergi ke Makkah dan belajar di bawah bimbingan Syekh Sulaiman al-Zuhdi. Pada tahun 1845, beliau mendapatkan sertifikat dan kembali ke Riau kemudian mendirikan perkampungan Thariqat Naqsabandiyyah dengan nama Bab al-Salâm. Pada abad ke-19, Thariqat Naqshabandiyyah mempunyai cabang di Makkah, menurut Trimingham, salah satu Syekh Naqshabandiyyah dari Minangkabau (Sumatera Barat) juga aktif pada tahun 1845. Dari Makkah, Thariqat Naqshabandiyyah tersebar luas ke berbagai negara termasuk ke Indonesia, melalui jamaah haji setiap tahun. Kedua Thariqat tersebut muncul pada abad ke-7 dan 8 Hijriyyah (abad ke-12/13 Masehi).

Thariqat Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia. Dan yang sangat penting adalah membantu dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan karena Syekh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang lokal (Indonesia) tetapi para pengikut kedua Thariqat ini ikut berjuang dengan gigih terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.

Survey tentang sejarah Thariqat Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah mempunyai hubungan yang erat dengan pembangunan masyarakat Indonesia. Thariqat ini merupakan salah satu keunikan masyarakat muslim Indonesia, bukan karena alasan yang dijelaskan di atas, tetapi praktek-praktek Thariqat ini menghiasi kepercayaan dan budaya masyarakat Indonesia. Selanjutnya, Syekh Sambas tidak mengajarkan kedua Thariqat ini secara terpisah, tetapi dalam satu kemasan (penggabungan kedua